Pakuan Pos - Suku Nias adalah kelompok etnik yang berasal dari Pulau Nias. Mereka menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono berarti anak/keturunan; Niha = manusia) dan Pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö berarti tanah). Hukum adat tradisional Nias secara umum disebut fondrakö. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik, dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.
ASAL USUL SUKU NIAS
Tidak diketahui persis siapa orang yang pertama kali datang ke Nias. Tetapi diketahui bahwa ada satu atau beberapa suku lain yang menghuni Nias, sebelum kelompok etnis yang ada saat ini (Ono Niha) yang menetap di pulau ini sekitar 700 tahun yang lalu. Ini disebutkan dalam tradisi lisan dan didukung oleh bukti-bukti arkeologi.
MITOLOGI
Berbagai mitos menceritakan berbagai cerita tentang asal usul kedatangan suku Nias ke pulau Nias. Sebuah hoho (semacam syair, mitos, cerita tradisional Nias) mengatakan bahwa orang Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora'a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama Teteholi Ana'a. Kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 putra yang disuruh keluar dari Teteholi Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias. Mitos lainnya, Inada Sirici menurunkan 6 orang anak ke Pulau Nias dan menjadi leluhur. Dan masih terdapat beberapa versi lain tentang kehadiran manusia di Nias.
PENELITIAN ARKEOLOGI
Penelitian arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999. Penelitian ini menemukan Pulau Nias telah dihuni sejak 12.000 tahun yang lalu oleh imigran dari daratan Asia, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau. Budaya Hoabinh di Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias menimbulkan dugaan imigrasi penduduk dari Vietnam.
Pada 2013, penelitian genetika oleh mahasiswa doktoral Departemen Biologi Molekuler Forensik Erasmus MC menyimpulkan bahwa masyarakat Nias berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Mereka diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu.
Penelitian ini juga menemukan bahwa dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Gua Tögi Ndrawa. Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan bahwa manusia yang menempati gua tersebut berasal dari masa 12.000 tahun lalu.
Sekitar tahun 1350 M, gelombang imigrasi membawa suku 'Ono Niha' ke pulau Nias. Sebagian besar orang Nias saat ini adalah keturunan dari kelompok etnis ini. Diyakini bahwa mereka tiba melalui Singkuang, sebuah pelabuhan di Sumatera yang menghadap ke Pulau Nias. Pemukiman pertama didirikan di Sifalagö Gomo di Nias Selatan. Orang-orang Ono Niha memiliki pengetahuan unggul untuk teknik bangunan dan penggunaan serta pembuatan alat besi. Tidak butuh waktu lama mereka akhirnya menjadi kelompok yang berpengaruh di daerah ini. Dari Gomo mereka tersebar ke seluruh pulau sampai semua orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha. Seiring dengan permulaan dan masuknya imigran “Niha”, maka berakhir pula penghunian gua Tögi Ndrawa. Tidak diketahui kalau suku tua yang lain di Nias menjadi punah atau berasimilasi dengan Ono Niha.
Tidak jelas dari mana suku Ono Niha berasal. Tapi banyak dari kedatangan pertama di Nias memiliki nama seperti Hia atau Ho, yang juga merupakan nama umum di Cina. Penelitian DNA menemukan, bahwa keturunan mereka ini (”niha“ atau suku ”manusia“) yang sekarang disebut “Ono Niha” (orang Nias) paling dekat dengan Taiwan dan Filipina.
(Diposting Seputar Cerita Sejarah Indonesia dan Dunia 24 Mei 2024 Jam 19.15)
PULAU NIAS DALAM CATATAN SEJARAH
Sekitar tahun 150 M, Ptolemy penulis Yunani menyebutkan lima pulau di sebelah barat Sumatera. Mereka dinamakan sebagai "Pulau-pulau Barus" dan Nias adalah pulau yang terbesar. Orang Nias menjual hasil mereka kepada kapal yang melewati sebagai pertukaran ke logam dan tekstil.
Pada tahun 851 M, Sulayman seorang pedagang Persia, mengunjungi Pulau Nias. Dia melihat bahwa para bangsawan lokal mengenakan banyak perhiasan emas yang indah dan memiliki kegemaran untuk pengayauan (pemenggalan kepala). Seorang pemuda yang ingin menikah, harus terlebih dahulu memenggal seorang musuh. Juga dicatat bahwa Pulau Nias memiliki struktur sosial yang kompleks. Tradisi lisan Nias menyebutkan enam suku yang berbeda dari masa ini, dan yang salah satunya adalah suku Bela, yang keturunannya tinggal di pohon-pohon.
Antara tahun 1100 M sd 1250 M Orang India dari Kerajaan Aru mendirikan tambang emas di Padanglawas di Sumatera. Tambang ini menghasilkan banyak emas, dan sejumlah emas itu masuk ke Nias.
SEJARAH PERLAWANAN RAKYAT NIAS MELAWAN PENJAJAH BELANDA DAN JEPANG (1840-1945)
Pada tahun 1840 Belanda memutuskan untuk mencoba mengambil kendali atas seluruh pulau Nias. Sejumlah pangkalan didirikan di sekitar pulau untuk peningkatan perdagangan serta kontrol militer di seluruh Nias. Namun kontrol itu terbatas pada benteng pertahanan dan daerah sekitar mereka. Sebuah pertempuran besar terjadi melawan ribuan prajurit suku Nias yang bertempur di bukit di belakang Lagundri. Masyarakat Desa Orahili adalah Suku Nias yang terkenal akan keganasannya melawan Belanda selama beberapa dekade. Bahkan terkadang Belanda memilih meninggalkan benteng pertahanan dan pos perdagangan, jika level mereka sudah memasuki tahap sangat berbahaya dan menyebabkan kerugian finansial yang besar. Orang Belanda sering membakar desa-desa sebagai pembalasan atas serangan yang dilakukan. Pada tahun 1900 Belanda mengirim kontingen pasukan besar ke Nias untuk mengamankan wilayah luar dari Gunungsitoli. Kontrol penuh untuk seluruh pulau hanya ditetapkan pada tahun 1914. Salah satu daerah terakhir yang ditenangkan' oleh Belanda di seluruh Indonesia.
Salah satu dampak dari kolonialisme Belanda adalah pembubaran struktur tradisional desa. Secara tradisional, desa-desa Nias dibangun di puncak-puncak bukit untuk tujuan pertahanan. Penjajah Belanda lalu membangun jaringan jalan di pulau dan memutuskan bahwa masyarakat setempat harus hidup di samping jalan tersebut. Ini memiliki dua tujuan : barang dari daerah-daerah terpencil bisa secara efektif diangkut kembali ke ibukota Gunungsitoli dan tentara Belanda bisa mudah menjangkau desa-desa kalau ada pemberontakan.
Antara tahun 1942 sampai dengan 1945 Jepang datang ke Pulau Nias, semula sebagian orang-orang Nias menyambut Jepang yang dianggap sebagai pembebas Suku Nias dari penjajahan Belanda. Perasaan ini berubah ketika orang-orang di Nias dipaksa bertahan dari banyak kesulitan untuk mendukung upaya perang Jepang. Dalam persiapan untuk invasi sekutu, Bunker dan benteng dibangun di sekitar pulau. Hari ini beberapa bunker ini masih dapat dilihat, di sekitar Gunungsitoli dan juga di Nias Utara dan Selatan. Pada bulan Agustus 1945 Jepang menyerah, tetapi butuh beberapa minggu sebelum berita kemerdekaan Indonesia ini akhirnya mencapai Pulau Nias.
(Diposting Seputar Cerita Sejarah Indonesia dan Dunia 24 Mei 2024 Jam 19.15)
SISTEM KEKELUARGAAN DAN MARGA
Suku Nias menerapkan sistem silsilah yang dinamakan mado mengikuti garis ayah (patrilineal). Mado-mado umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada. Contoh nama marga dari suku Nias antara lain Daeli, Dachi, Famaugu,
Fanaetu, Farasi, Lahagu, Lalu, Laoli, Ŵaoma, Wara, Zörömi, Zahuwa dan masih banyak lainnya. Prof. Yasonna Hamonangan Laoly , S.H., M.Sc., Ph.D. (MenkumHAM) adalah salah satu tokoh negara dari suku Nias.
BAHASA
Bahasa Nias adalah bahasa yang dituturkan oleh orang Nias. Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Sumatera Barat Laut–kepulauan Penghalang dan berhubungan dengan bahasa Batak dan Mentawai. Pada tahun 2000, penuturnya berjumlah sekitar 770.000 orang. Bahasa Nias terdiri atas tiga dialek, dialek utara dituturkan di daerah Gunungsitoli, Alasa dan Lahewa. Dialek selatan dituturkan di Nias Selatan. Sementara itu, dialek tengah dituturkan di Nias Barat, khususnya di daerah Sirombu dan Mandrehe. Tapi sebuah Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sumatera Utara tahun 1977/1978 membagi bahasa Nias ke lima dialek. Dialek utara dituturkan di Alasa dan Lahewa; dialek Gunungsitoli; dialek barat di Mandrehe, Sirombu, Kepulauan Hinako; dialek tengah di Gido, Idano Gawo, Gomo, Lahusa; dan dialek selatan di Telukdalam, Pulau Tello, dan Kepulauan Batu. Tingkat kemiripan antara dialek ini mencapai 80%.
ALFABET
Abjad dalam bahasa Nias berbeda dengan abjad dalam bahasa Indonesia, di mana ada yang dikurangi (tidak dipakai) dari abjad bahasa Indonesia dan ada yang ditambahkan abjad unik (karakter khusus) dalam bahasa Nias yang pengucapannya tidak terdapat di dalam abjad bahasa Indonesia. Abjad Bahasa Nias huruf besar dan huruf kecil sebagai berikut:
Aa, Bb, Dd, Ee, Ff, Gg, Hh, Ii, Kk, Ll, Mm, Nn, Oo, Öö, Rr, Ss, Tt, Uu, Ww, Ŵŵ, Yy, Zz
AGAMA
Sebagian besar orang Nias adalah pemeluk agama Kristen Protestan. sedangkan yang lainnya beragama Islam, Katolik, Buddha dan kepercayaan tradisional Fanömba adu. setidaknya menurut kenyataan sekitar tahun 1967. Sistem kepercayaan yang disebut terakhir ini adalah nama yang diberikan oleh pihak luar. yang merupakan sistem kepercayaan yang berasal dari leluhur mereka. Mereka menyebut Molehe Adu, yaitu pemujaan roh leluhur. Untuk itu mereka membuat patung-patung kayu (adu) yang ditempati oleh roh leluhur.
KEBUDAYAAN DAN ADAT ISTIADAT TRADISIONAL DI PULAU NIAS
Fahombo (Lompat Batu), Fataele/Foluaya] (Tari Perang), Maena (Tari berkelompok), Tari Moyo (Tari Elang), Fangowai (Tari sekapur sirih/penyambutan tamu), Fame Ono nihalö (adat Pernikahan), Omo Hada (Rumah Adat), Fame'e Töi Nono Nihalö (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah), Fasösö Lewuö (Menggunakan adu bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias) dll.
Sumber : https://museum-nias.org/sejarah-nias, wikipedia dan berbagai sumber lain