Cirebon, Pakuan Pos - Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) menyampaikan ucapan selamat kepada Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar yang telah diberi amanat sebagai Menteri Agama (Menag) dan Ny. Hj. Arifatul Choiri Fauzi sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perindungan Anak (PPPA) RI dalam Kabinet Merah Putih di bawah komando Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka. JPPRA juga mengucapkan terima kasih dan apresiasi atas segenap dukungan, regulasi, dan kebijakan Menag Yaqut dan Menteri PPPA Bintang Puspayoga selama menjabat di periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma'ruf Amin.
Sekretaris Seknas JPPRA, Ustaz Agung Firmansyah mengatakan, salah satu isu penting yang ditangani secara serius oleh Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian PPPA selama ini adalah pencegahan dan penindakan kasus kekerasan anak di lembaga pendidikan, termasuk di pesantren.
"Keberanian Menag Gus Yaqut dan Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam mencegah dan menangani kasus-kasus tindak kekerasan anak di pesantren ini patut diapresiasi dan harus menjadi acuan utama oleh pejabat selanjutnya agar cita-cita dari inisiatif tersebut bisa tercapai, yakni terciptanya lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan anak," katanya, Senin, 21 Oktober 2024.
Menurut Ustaz Agung, selama ini baik Kemenag maupun Kementerian PPPA telah membuat banyak terobosan dalam menangani kekerasan terhadap anak di pesantren. Namun, lanjutnya, tantangan di lapangan masih cukup besar.
"Upaya pencegahan, penindakan, dan pendampingan harus terus diperkuat dengan kolaborasi berbagai pihak dan perluasan cakupan implementasi kebijakan yang lebih efektif, sehingga lingkungan pesantren benar-benar menjadi tempat yang aman dan ramah bagi anak-anak," kata Ustaz Agung.
Ustaz Agung mengungkapkan sejumlah tantangan yang harus disikapi tak kalah serius oleh Menag Nasaruddin Umar dan Menteri PPPA Arifatul Choiri terkait hal tersebut. Di antaranya adalah masih banyaknya lembaga pendidikan, termasuk pesantren yang memiliki kesadaran cukup rendah tentang kekerasan terhadap anak, terutama yang bersifat non-fisik, seperti pelecehan verbal dan psikologis.
"Sosialisasi yang merata masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah terpencil," katanya.
Selain itu, lanjut dia, beberapa pesantren masih mengadopsi budaya ketaatan hierarkis yang sangat kuat sehingga kasus kekerasan atau pelecehan sering tidak dilaporkan karena dianggap "wajar" atau ditutupi atas dasar menjaga citra pesantren.
"Tak kalah penting, masih banyak pesantren yang belum memiliki sarana pendukung memadai untuk menerapkan kebijakan anti-kekerasan, seperti fasilitas konseling atau pendampingan psikologis untuk santri yang mengalami kekerasan," katanya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Seknas JPPRA, Kiai Yoyon Syukron Amin menambahkan, Menag dan Menteri PPPA yang baru juga memiliki sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang perlu segera dilakukan secara lebih fokus, masif, dan serius.
"Kemenag dan Kementerian PPPA harus melanjutkan sosialisasi terkait hak-hak anak dan pencegahan kekerasan melalui pelatihan dan kampanye, termasuk di wilayah yang sulit dijangkau. Upaya ini meliputi pelibatan para kiai, ustaz, dan pengurus pesantren untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sadar dan peka terhadap hak anak," katanya.
Selain itu, lanjutnya, diperlukan pula integrasi kurikulum yang mencakup pendidikan terkait pencegahan kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak sehingga santri dan pengurus pesantren memiliki pemahaman yang lebih baik tentang perilaku yang dapat membahayakan anak.
"Tantangannya juga masih ada. Misalnya, penanganan hukum terhadap pelaku kekerasan di pesantren sering kali lambat dan tidak tuntas, terutama karena adanya intervensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Ini juga dipersulit oleh minimnya akses korban terhadap lembaga hukum dan dukungan sosial," kata Kiai Yoyon.
Belum lagi, banyaknya pesantren yang tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kekerasan yang spesifik membuat penindakan terhadap kasus kekerasan kerap tidak berjalan sesuai dengan standar nasional.
"Pembuatan SOP perlindungan anak di seluruh pesantren ini menjadi penting. Dan ini yang sedang didorong dan dilakukan JPPRA, minimal dimulai dari 50 pondok pesantren yang tergabung dalam jaringan ini," pungkasnya.
Saat ini, dengan dukungan Kemenag dan Kementerian PPPA, JPPRA telah melaksanakan berbagai inisiatif, program, dan kegiatan terkait pencegahan kekerasan anak di pesantren. Jaringan yang dideklarasikan sejak 2023 itu kerap melakukan sosialisasi, riset, Focus Group Discussion (FGD), pendampingan korban, serta kampanye pencegahan kekerasan anak di pesantren.
JPPRA Tegaskan Komitmen Berkelanjutan Cegah Kekerasan Anak di Pesantren
Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) menyatakan tekadnya untuk terus melanjutkan perjuangan dalam mewujudkan pesantren yang bebas dari tindak kekerasan terhadap santri. Seknas JPPRA merasa perlu untuk meneguhkan kembali komitmen ini seiring pergantian tampuk kepemimpinan di Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI.
Sekretaris Seknas JPPRA, Ustaz Agung mengatakan, selama ini dua kementerian itu menjadi pendorong utama pihaknya dalam melakukan upaya terciptanya lingkungan pondok pesantren yang ramah anak.
"Bahkan, berkat saran dan dukungan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri PPPA Bintang Puspayoga, JPPRA dideklarasikan oleh puluhan pondok pesantren di Indonesia pada 2023 lalu sebagai bagian dari upaya pencegahan kekerasan anak di pesantren secara internal," katanya, Senin, 21 Oktober 2024.
Ustaz Agung memaparkan, sejak didirikan, JPPRA telah melaksanakan berbagai inisiatif, program, dan kegiatan dalam upaya pencegahan kekerasan anak di pesantren. Di antaranya adalah pelatihan dan workshop untuk pengurus pesantren, program penguatan kapasitas santri, kampanye kesadaran tentang pentingnya pencegahan kekerasan anak di pesantren, riset dan dialog, konseling dan pendampingan korban, serta pengembangan standar operasional prosedur (SOP) perlindungan dan kurikulum ramah anak di pesantren.
"Guna meningkatkan pemahaman tentang hak-hak anak dan regulasi yang ada, JPPRA juga melakukan penyuluhan hukum yang melibatkan pengacara dan aktivis. Kegiatan ini bertujuan untuk mendidik pengurus pesantren dan santri mengenai langkah-langkah hukum yang dapat diambil dalam kasus kekerasan," katanya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Seknas JPPRA, Kiai Yoyon Syukron Amin menambahkan, pihaknya juga rutin melakukan monitoring sekaligus evaluasi program yang telah dilaksanakan dalam dua tahun terakhir.
"Salah satu hasilnya adalah pentingnya keberlanjutan komitmen, bukan hanya dari JPPRA sendiri, tetapi juga dari Kemenag dan Kementerian PPPA melalui menteri baru mereka," katanya.
Kiai Yoyon berharap, Menag KH Nasaruddin Umar dan Menteri PPPA Ny. Hj. Arifatul Choiri berkenan untuk turut mendorong dan mendukung kerja-kerja JPPRA demi terwujudnya lingkungan pendidikan yang ramah anak, terutama di pesantren.
"Kami yakin, Menag dan Menteri PPPA yang baru juga memiliki inisiatif dan cita-cita yang sama. Terlebih lagi, kedua tokoh yang dipilih Presiden Prabowo Subianto merupakan sosok yang sebelumnya dikenal memiliki kecakapan di bidangnya, terutama soal perhatian terhadap perlindungan anak di lingkungan pendidikan," pungkasnya. (Bms)