Oleh: Ridwan Ch. Madris
Pakuan Pos - Saat ini di musim yang sedang semarak iklan iklan pilkada. Baik di televisi, di media, serta di berbagai medsos. Sejumlah seniman dan budayawan di manapun berada, di kota maupun di desa selalu awas membaca melalui insting indra kepekaannya. Terutama baliho baliho terpampang senyum manis yang disertakan visi dan misi juga disisipi narasi indah. Baliho atau poster poster sosok calon pemimpin daerah berjejer digadang - gadang para tuan dan tim terpampang jelas.
Setiap orang yang melintas memandang, dan tentunya sangat berharap sosok pemimpin daerah, bupati, wali kota, maupun gubernur bukan sekadar senyum dan narasi manis saat berkampanye. Melainkan mendapat pemimpin yang sungguh-sungguh berani mengambil kebijakan dalam memperjuangkan dan mendukung masyarakatnya terutama bagi penggiat seni budaya.
Memperjuangkan UUD pemajuan kebudayaan di daerahnya yang sampai saat ini ditunggu-tunggu.
Perda Pemajuan Kebudayaan tidak dianggap sekadar kata benda atau kalimat yang tersurat belaka. Semestinya dimaknai dengan seksama. Hal ini sangat penting karena perda tersebut sebagai implementasi turunan dari Undang-Undang Nomor 5/2017 merupakan payung penting bagi aparatur negara dan warga negara untuk memperlakukan, mendistribusikan praktik dan produk kebudayaan, kewenangan yang menjangkau seluruh wilayah daerah di Indonesia, dengan tujuan yang jelas: yakni memajukan dan memberdayakan. Dengan demikian, kebudayaan dalam seluruh produknya menjadi modal pembangunan yang penting. Pendekatan semacam itu akan memunculkan kebanggaan setiap warga negara, komunitas, suku, menjadi bagian penting dari keindonesiaan.
Sejauh ini, banyak kalangan teman - teman seniman bertanya pada saya, terutama di Kabupaten Bandung dan Jawa Barat. Mengaku belum ada yang serius diajak berkomunikasi para calon bupati, wali kota, gubernur, dan wakil gubernur, meskipun tentunya ada , tapi , hanya segelintir pelaku seni atau sejenis seniman yang membungkus talenta selebritis yang dijadikan propaganda manggung saat kampanye. Tapi itu sah sah saja. Hak si calon.
Namun, alangkah kerennya berembuk atau diskusi berjamaah dari berbagai latar belakang pelaku dan komunitas seni, baik seni tradisi maupun modern. Baik penyair, perupa, teater, tari, pemusik , pedalangan, reak, pencak silat, dll.
Sebab, jenis seni di daerah dan umumnya di Indonesia sangat kaya dan beragam.
Jangan ada kata gumaman lagi yang terdengar di telingaku . saat seorang pemimpin yang mempunyai kebijakan hanya modal kedekatan emosional. "Hanya seni itu - itu melulu, hanya si pelaku itu -itu saja." Yang selalu dilibatkan dalam ajang proyek, program, dan momentum kebesaran tertentu.
Oleh karena itu, jangan sampai hal itu kembali terjadi. Jika pemimpin terpilih nanti harus benar-benar serius memperhatikan berbagai komunitas dan pelaku seni. Maka, pentingnya sosok pemimpin yang netral dan gesit, bukan sekadar bulshit !
“Mengatasnamakan ingin memperjuangkan seniman dan masyarakat dengan dalih - dalih manis untuk memperjuangkan pemajuan kebudayaan, untuk memfasilitasi berlangsungnya kegiatan kesenian, mensejahterakan seniman, dan tetek bengek lainnya." Saat berkampanye!.
Bisikan lainnya, mungkin merupakan bentuk curhatan yang sering didengar. terutama para pelaku seni yang berada di daerah yang jarang terjamah.
"Perlunya pemimpin -pemimpin yang punya rasa mencintai dan peka peduli dengan pengembangan seni budaya. "Realisasinya bukan omong kosong." Barangkali ini hanyalah pesan untuk para calon pemimpin daerah dan pemangku kebijakan terkait. Tak ada salahnya saling mengingatkan. Sebab , saling mengingatkan untuk kebaikan adalah sesuatu yang indah menuju terang benderang. Seperti halnya visi dan misi presiden terpilih 2024, "menuju Indonesia maju yang semakin gemilang terang bagai emas "!.Semoga saja niat dan tujuan yang diapungkan itu benar benar terasa dalam hati. Terutama untuk ranah seni dan kebudayaan.
Pun Pemimpin pemimpin daerah yang terpilih nanti mampu menyetarakan . seperti yang dijelaskan di atas. Kalau menurut istilah orang Sunda , jangan hanya "sikukut" itu melulu. Artinya , jangan dipilah dan dipilih, itu saja yang dipertahankan dan disejahterakan. Karena akan terus berakhir rumitnya kecemburuan sosial. Dan yang paling berbahaya salah sasaran "sikukut," itu bukan pelaku seni, hanya oknum. “Kostumnya saja yang berpenampilan seniman.
Dan jangan sampai terdengar kembali oleh telinga kita, sebagian karya warisan seni tradisi mulai sedikit musnah tak ada generasi selanjutnya. Penyebab kurang perhatian serius dan fasilitas yang tidak mendukung.
Pada Prinsipnya, teman-teman seniman dan budayawan terutama yang ada daerah. Berharap figur pemimpin berani mengambil tindakan dalam mendampingi dan mengakomodasi, juga memiliki kemampuan untuk merangkul semua jenis seni dan pelakunya. apalagi pewaris seni budaya nantinya adalah generasi muda yang akan meneruskannya.
Dengan demikian, disahkannya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan ini. Bahwa negara melalui aparatur pemerintah harus memiliki kesadaran dan keberpihakan bahwa kebudayaan merupakan aset penting, bahkan utama, bagi bangsa ini. Mengabaikannya hanya akan menciptakan situasi mundurnya keberadaban, dan hilangnya aset kesakralan seni budaya yang jelas telah memberi kontribusinya bagi daerah terutama Indonesia tercinta.
Dan kebudayaan dalam aspek perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan tidak berhenti menjadi jargon, namun benar-benar terwujud. Kebudayaan harus dimaknai sebagai kata kerja untuk terus dihidupkan, bukan kata benda yang hanya bisa dielus-elus.
Penulis:
Seniman dan Dosen Filsafat Budaya
Ketua Umum Forum Seniman Kab bandung
Ketua Sawargi Jabar
Dan pengurus LTNU Bandung.