Pakuan Pos - Kisah bermula ketika Soekarno pingsan di tempat rumah tahanan politiknya di Wisma Yaso Jakarta, pingsan karena tak kuasa menahan sakit ginjal yang sudah kronis. Maka pada hari itu juga, Serdadu yang ditugasi oleh penguasa baru untuk menjaga kondisi dan keselamatan Soekarno disibukan oleh keadaan genting.
Pertama-tama, Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto yang sebetulnya letaknya hanya 5 Kilometer dari rumah tahanan Politik.
Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.
Selagi pagi, suasana terasa mencekam sebab pada hari itu juga, yaitu pada hari Selasa tanggal 16 Juni tahun 1970 soekarno dibawa ke ruangan intensive care, kemudian dibawa lagi ke sebuah ruangan perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan Presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan.
Setelah diberikan perawatan, berangsur-angsur Soekarno mulai sadar, hanya saja anggota tubuhnya membengkak, terlihat jelas bahwa ginjalnya tak lagi mampu berfungsi menahan segala racun dalam tubuhnya.Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata.
Dua hari kemudian, sebagaimana dituliskan oleh Taufik Adi Susilo, dalam bukunya Soekarno, Biografi Singkat 1901-1970 (hlm 153-157) menyebutkan; Megawati anak sulungnya dari Fatmawati, diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya tergolek lemah dan tak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan air mata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini. “Pak, pak, ini Ega…”. Senyap, Soekarno tak sadar.
Hari berikutnya, mantan wakil Presiden Moh. Hatta diizinkan menemui kolega lamanya. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit, ia berkata lemah. “Hatta.., kau di sini..?”, Soekarno sadar.
Menyaksikan hal tersebut, Hatta tak kuasa menahan kesedihannya. Namun, Hatta tidak ingin Soekarno mengetahui kesedihannya, dengan sekuat tenaga Hatta memendam kesedihannya dan berusaha menjawab dengan wajar. “Ya, bagaimana keadaanmu No?”
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. “Hoe gaat het met jou…” (bagaimana keadaanmu).
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Sukarno. Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya. Hatta ikut menangis.
“No…” hanya itu yang bisa terucap dari bibir Hatta. Ia tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Hatta sangat marah kepada penguasa baru yang sampai hati menyiksa seorang bapak bangsa.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota dokter kepresidenan, seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, dia memeriksa pasien istimewanya itu. Sebagai seorang dokter yang berpengalaman, Mardjono seperti tahu bahwa waktunya tidak akan lama lagi.
Dengan sangat hati-hati dan penuh humor, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya.
Mardjono merasakan panas yang sangat tinggi dari tangan yang amat lemah. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya.